Di perjalanan pulang dua malam yang lalu, tepatnya dalam bus Kopaja P20 yang suka melaju ugal-ugalan di jalan dan konon banyak pencopet beraksi, saya menulis daftar 10 film yang paling membekas di hati dan pikiran selama tahun 2010. Sebenarnya sih nge-tweet, tapi demi postingan pertama saya di blog milik rame-rame ini, jadi tweet-tweet ini saya rapihkan (baca: tambahkan) sedikit. Ya, inilah 10 film beserta uneg-unegnya yang langsung terlintas di benak saya:
Hari Untuk Amanda
Perjalanan dadakan mengunjungi masa lalu yang sentimentil. Perjalanan yang pada akhirnya menguji hati dan komitmen Amanda (Fanny Fabriana) untuk menikah dengan Dodi. Perjalanan yang membuat Hari (Oka Antara) yang macho itu pura-pura pipis di balik pohon, karena tak ingin terlihat menangis di depan Amanda. Perjalanan yang juga membuat Dodi (Reza Rahadian) yang super sibuk itu ‘curhat’ di meja pengaduan kantor polisi. Adegan yang paling memorable bagi saya, yaitu saat Amanda menangis sambil makan nasi padang: lucu sekaligus menyentuh. Saya sendiri tak menyangka berubah jadi sentimentil selama menonton film ini. Huh, sial! Salah satu film drama romantis terbaik yang pernah dibuat filmmaker kita.
Catatan yang Berusaha Romantis dari Pria yang Tidak Romantis:
Hey, Angga Dwimas Sasongko (sutradara) dan duo Salman Aristo-Gina S. Noer (skenario), bikin film kayak begini lagi yah! Tahukah kalian, demi menonton film ini di bioskop, saya rela menyeberangi Jakarta, dari Cilincing ke Pondok Indah. Sayangnya film manis ini tak banyak penontonnya, sehingga cepat turun dari layar bioskop.
Rumah Dara
Di antara gempuran film-film horor berjudul lucu kala itu, Rumah Dara benar-benar mengebrak adrenalin. Tadinya sih saya pikir film ini lanjutan cerita unik dari Dara (film pendek yang juga dibuat Mo Brothers dengan tokoh Dara yang tetap diperankan Danish), tapi ternyata berbeda. Rumah Dara benar-benar mengikuti cerita dan plot film slasher ala Hollywood, plus pemakaian gergaji mesin untuk menghormati The Texas Chain Saw Massacre. Namun, bagi saya, itu tak jadi soal. Sebab saya berhasil dibikin ngeri dari awal film. Salut untuk pengarahan Mo Brothers di sini dalam menciptakan ketegangan dan kekerasan fisik yang nyata. Dengan production value yang detail, beginilah seharusnya film horor dibuat.
Catatan Seram:
Istri saya yang saat menonton sedang hamil delapan bulan menyesal dan menjadi agak trauma gara-gara film ini. Ya, ya, ibu hamil memang sebaiknya jangan menonton film ini. Dan, ya, Julie Estelle cantik lho di sini, meski di ujung cerita tubuhnya bonyok dan penuh luka.
Minggu Pagi di Victoria Park
Kalau ingat Lola Amaria, sutradara-pemain di film ini, saya ingat Aria Kusumadewa (sutradara Novel Tanpa Huruf R dan Identitas). Lola mulai belajar penyutradaraan dari Aria, mantan kekasihnya. “Lola sudah maju sekarang,” ucap Aria dalam satu wawancara ke saya. Betul kata Aria, setelah Betina, pengarahan Lola memang semakin matang di film yang bersikap kritis terhadap persoalan TKI ini. Sangat pantas jika Lola mendapatkan gelar Sutradara Terbaik di Indonesian Feature Film Competition (IFFC) 2010 pada JIFFest lalu lewat karyanya ini. Dengan skenario terbaiknya Titien Watimena, film ini pun mampu jujur dalam menuturkan cerita dan problematika karakternya. Sebenarnya, inti kisah ini adalah tentang hubungan adik-kakak yang merenggang akibat rasa dengki. Lola berperan sebagai sang kakak, dan Titi Sjuman sebagai adik, dengan akting yang meledak. Maafkan ke-lebay-an bahasa saya, tapi percayalah, akting Titi memang pol. Tonton saja DVDnya kalau sudah dirilis. Saya jadi heran kok bisa juri lebih memilih Laura Basuki ketimbang Titi di FFI kemarin. Hmm.
Catatan Penting:
Salah satu kecerdasan Lola adalah pemilihan Kangen Band untuk tampil di ujung film ini di Victoria Park, Hongkong, pada Minggu pagi. Saya bukan fans grup band itu. Tapi, penampilan dan lagu yang dibawakan Kangen Band di film ini sungguh tepat, meski tetap tak berhasil menjadikan saya sebagai fans mereka.
Babi Buta yang Ingin Terbang
Film yang dibintangi Ladya Cheryl ini sebenarnya produksi tahun 2008, tapi saya baru berhasil menontonnya tahun ini, di acara Klub Kajian Film IKJ. Saat itu, Edwin (sutradara-penulis skenario), Herman Kumala Panca (editor) dan Meiske Taurisia (produser) hadir untuk berdiskusi. Kisahnya tentang orang-orang yang malu menjadi bagian dari etnis Cina dan minoritas. Edwin tak menyajikan struktur tiga babak. Di sini dia anti terhadap struktur itu, plot pun diacak-acak ditambah dengan berbagai simbolisasi. Ujung-ujungnya, selama menonton saya tidak bisa berhenti untuk selalu menafsirkan cerita dan maksud film ini. Di penghujung diskusi, salah seorang anggota klub bilang kalau film ini merupakan jenis film yang jika ditonton lagi berulang kali, akan semakin baguslah penilaian kita terhadap film ini. Intinya sih, saya harus menontonnya lagi, meski akan dihantui lagi dengan lagu Stevie Wonder “I Just Called to Say I Love You.”
Catatan … apa ya …hmm :
Ada anggota klub yang bertanya ke Edwin, kenapa Ladya Cheryl selalu bermain di filmnya, dan dijawab Edwin seperti kehabisan kata-kata.”…..ckck…hmm, karena dia…apa ya…ya dia sempurna, hehe.” Saya setuju dengan kata-kata Edwin lah.
Duo Kribo
Achmad Albar dan almarhum Ucok Harahap mengadu akting dalam film produksi tahun 1977 ini. Diceritakan, duo rocker berambut kribo yang berbeda nasib serta kelas sosial ini saling bersaing untuk membuktikan siapa yang paling top dalam bermusik, dan tentu saja merebutkan cinta seorang wanita. Satu lulusan kuliah musik di luar negeri, satu lagi musisi yang ditempa di daerah. Perbedaan ini ditampilkan secara menarik oleh skrip yang ditulis Remy Sylado. Kelihatan sekali Remy memang berusaha berbobot dalam mengomongkan musik, yang diimbangi dengan kejenakaan akting Ucok. Melihat renyahnya dialog-dialog yang mengkritisi soal musik dan indutri dalam film ini, maka demi Perserikatan Bangsa-Bangsa, semoga film ini bisa diputar lagi di bioskop komersil.
Catatan dari Saya yang Berambut Tebal dan Lurus:
Beruntungnya saya bisa menonton film ini di acara Bulan Film Nasional lalu, yang diputar karena copy filmnya akhirnya ditemukan setelah hilang bertahun-tahun. Semoga catatan ini membuat iri kalian yang belum menontonnya. Hehe.
Inception
Selesai menonton film ini, saya refleks tepuk tangan, lalu memikirkannya sepanjang perjalanan pulang. Beberapa hari kemudian, dibahas secara agak serius bersama teman-teman, baik sesama penikmat film maupun yang tesisnya meneliti tentang film. Teori Psikoanalisa, buku The Interpretation of Dreams dan Totem and Taboo karangan Sigmund Freud disebut-sebut. Sok serius sekali ya kelihatannya, tapi begitu film ini dirilis memang diyakini oleh beberapa kritikus bakal menjadi objek riset para mahasiswa film dan skenario sejagat di masa depan. Bahkan ada yang bilang Chris Nolan di film ini bukan saja berperan sebagai sutradara atau penulis skenarionya, tapi sebagai filsuf. Selama menonton film ini, tanpa disadari sebenarnya pikiran kita diajak mengupas layer demi layer cerita yang sudah dirancang secara presisi oleh Nolan untuk menjelaskan masalah di dalam tumpukan empat tingkatan mimpi. Bingung baca kalimat tadi? Tak apa, jika menontonnya langsung, pasti lebih mengerti maksud film ini. Bagaimanapun, kisah film ini intinya adalah tentang kenangan—yang disimpan dalam mimpi. Jadi, ya, ini film yang lagi-lagi sentimentil.
Catatan Sok Serius:
Kok lama-lama, isi tulisan ini jadi tambah serius, ya? Mungkin karena ngomongin soal mimpi dan kenangan, dan saya capek kalau ngomongin dua hal itu. Tuh kan nggak nyambung.
The Social Network
Film ini langsung memikat saya sejak awal durasi. Opening scene di dalam bar yang talky itu langsung menyuguhkan kekuatan skenario Aaron Sorkin, kepiawaian David Fincher dalam mengarahkan aktor-aktrisnya dan mengolah tensi drama, dan tentunya performa akting Jesse Eisenberg. Sebagai biopik, film ini tidak menampilkan sisi sebenarnya seorang Mark Zuckerberg. Tapi saya tak terlalu peduli, karena penafsiran kreator film ini terhadap Mark dan segala hal yang terjadi padanya pun penting demi kesetiaan pada tema cerita. Dan, bagi saya kisah The Social Network sebetulnya tragis. Dibuka dengan Mark yang dicampakkan Erica Albright (tokoh rekaan), lalu ditutup dengan mengklik ‘Add as Friend’ di laman profil Facebook milik Erica dan menekan tombol refresh berulang-ulang sambil diiringi lagu “Baby You’re A Rich Man” dari The Beatles. Kalimat "Every creation myth needs a devil" tepat sekali menggambarkan Mark sebagai tragic hero.
Catatan Sosial:
Mari kita saling mencolek…
Jakarta Maghrib
Kalau Paris punya Paris, Je T'Aime, Jakarta punya Jakarta Maghrib. Inilah omnibus manis karya tutor saya, Salman Aristo (sutradara dan penulis skenarionya). Sebuah eksplorasi terhadap Jakarta, dan bukti bahwa keseharian kita yang remeh-temeh bisa menjadi cerita yang menarik. Ada enam segmen: Iman Cuma Ingin Nur, Adzan, Menunggu Aki, Jalan Pintas, Cerita Si Ivan, dan Ba’da. Saya paling suka dengan Jalan Pintas. Di segmen ini, Reza Rahadian dan Adinia Wirasti tampil menguras emosi dengan membicarakan pernikahan, masa depan, dan impian-impian. Adegan berlangsung di dalam mobil. Ruang sempit itu membuat ego dan luapan emosi mereka malah mengungkungnya dan akhirnya meledak di akhir cerita. Keren!
Catatan Murid:
Dipikir-pikir, wajar kalau segmen Jalan Pintas terasa paling menonjok. Sepertinya Mas Aris paham banget soal karakter dan problem yang dialami dua tokohnya. Saya pun kok semacam merasa kesepet gitu ya?
Outrage
Takeshi Kitano kembali ke cerita tentang yakuza. Hasilnya: edan! Permata berdarah di Jiffest tahun ini. Ceritanya sendiri penuh intrik dengan ending yang mengejutkan. Tindakan kejam para yakuza ini seolah sudah membudaya. Di film ini, potong jari menjadi santapan rutin mata kita. Belum lagi tindakan-tindakan menyiksa lawan. Dari sudut pandang kita, perilaku para yakuza ini dianggap brutal, namun bagi mereka itu adalah rutinitas mereka. Semacam ritual uji nyali yang wajib dilakukan, karena bagi mereka mati sudah menjadi kepastian. Hebatnya, dipadu emosi dan karakter para tokohnya yang cool, Takeshi menampilkan adegan kekerasan itu dengan gaya. Efeknya tetap tak menghaluskan tindakan kekerasan itu memang, tapi jelas membuat saya selalu ingin menutup mata setiap kekerasan itu tampil. Kekerasan dalam film slasher sampai saat ini pun tak bisa menutup mata saya.
Catatan Berdarah:
Tadinya saya pikir Biutiful yang bakal jadi film paling menarik di Jiffest tahun ini, ternyata gelar ini digondol Outrage. Oya, adegan sumpit di dapur restoran mie itu betul-betul sinting.
Biutiful
Dibandingkan tiga film sebelumnya (Amores Perros, 21 Grams dan Babel), bagi saya Biutiful bukanlah film terbaiknya Inarritu. Saya sendiri kurang tahu, apakah gara-gara tidak berduet lagi dengan penulis skenario Guillermo Arriaga, sehingga membuat cerita film ini tidak multiplot. Tapi dengan single plot seperti ini, Biutiful pun menjadi panggung akting Javier Bardem sebagai Uxbal. Ya, teman-teman, Javier Bardem sekali lagi tampil luar biasa di sini. Akting dia benar-benar membuat saya ikutan merasakan depresinya sebelum ajal menjemput dirinya, apalagi saat dia menangis meraung-raung karena sebuah kematian massal. Tontonlah film yang mengusik jiwa ini di bioskop, kamu tak akan menyesal.
Catatan Depresi:
Bagaimanapun, film-film karya Inarritu, baik dengan skrip buatan Arriaga atau tidak, selalu saya suka. Selalu ada karakter-karakter depresi dalam filmnya, mungkin untuk ingatkan kita supaya tidak depresi. Duh jadi pengen curhat di sini…
Sekian penjelasan 10 film paling membekas di tahun ini. Kesimpulan agak nggak nyambung: menyambut Reza Rahadian di jajaran aktor muda yang hebat, seperti Nicholas Saputra dan Lukman Sardi. Nggak percaya? Nonton saja semua film yang dibintanginya.
Special Mention
Selain 10 film di atas, pengalaman menonton Onrop! Musikal juga sangat membekas. Apa jadinya kalau kita takut pada cinta? Ini review saya: http://anggarulianto.multiply.com/reviews/item/33
10 Film Tahun 2010
Published on 12/17/2010 2 appreciated comments »
aaawh.
mau nonton Biutiful s-e-c-e-p-a-t-n-y-a :)
hehe, iya, lo mesti nonton. semoga segera muncul di Blitz :D